Biografi KH As,ad Syamsul Arifin
Kelahiran
dan Pendidikan
Kiai As’ad Syamsul Arifin dilahirkan pada tahun 1897 M
/1315 H di Syi’ib Ali, Makkah dari pasangan suami istri Raden Ibrahim dan Siti
Maemunah. Ketika As’ad lahir, oleh ayahnya langsung dipeluk dan dibawa menuju
Ka’bah. Jarak antara Syi’ib Ali dan Ka’bah memang tidak terlalu jauh sekitar
200 meter. Di sisi Baitullah itulah, sang ayah membisikkan kalimat adzan dan
kemudian memberinya nama bayi laki-laki itu dengan As’ad.
Berkaitan dengan nama As’ad tersebut terdapat suatu
anekdot yang menarik. Alkisah, pemberian nama As’ad itu justru karena mimpi
Raden Ibrahim tatkala sang istri, Siti Maemunah, sedang hamil tua. Konon, Raden
Ibrahim bermimpi melihat kandungan istrinya membesar lalu melahirkan bayi
berbulu macan seperti bulu singa. Di kedua bahunya tertulis kata Arab “Asad”
yang berarti juga singa.
Karena itu tatkala sang bayi lahir, serta merta Raden
Ibrahim memasukkan kata Asad dalam namanya. Dus, jadilah nama bayi itu As’ad
yang jika dibaca tanpa tanda petik, menjadi Asad yang bermakna singa. Asad juga
memiliki nasab sampai ke Nabi Muhammad Saw. dan mempunyai hubungan darah dengan
para wali penyebar Islam di Jawa, seperti Sunan Drajat dan Sunan Ampel.
Sedangkan gelar Raden di depan namanya memang disematkan bagi anggota-anggota
sebagian keluarga terpandang (aristokrat), sebagai salah satu penghormatan.
Tatkala berusia 13 tahun, As’ad mondok di Banyuanyar
di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid. Setelah ikut membantu
ayahnya mendirikan Pondok Pesantren Sukorejo, saat usianya 16 tahun ayahnya
mengirim As’ad ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama di sana. Ia masuk di
Madrasah Shaulatiyah. Disamping belajar di madrasah, ia juga berguru kepada
kepada Sayyid Abbas al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Hasan Masyath,
Syekh Bakir, dan Syekh Syarif asy-Syinqithi. Sedang teman seangkatan saat itu
adalah KH. Zaini Mun’im, KH. Ahmad Thoha, KH. Baidhawi Banyuanyar Pamekasan.
Setelah beberapa tahun belajar di Makkah, pada tahun
1924 (kala itu As’ad berusia 25 tahun) ia kembali ke Tanah Air. Meski telah
bertahun-tahun belajar di Makkah, Kiai As’ad merasa belum cukup ilmu untuk
membantu mengajar di pondok. Karena itu setibanya di tanah air, As’ad kembali
melakukan perjalanan keilmuan ke pesantren–pesantren lain, untuk belajar pada
beberapa kiai. Dengan cara ini As’ad bukan hanya dapat memperkaya ilmunya
sendiri dan sekaligus pengalaman hidupnya, tetapi bahkan memungkinkan
terjadinya proses pertukaran keilmuan, yang pada gilirannya mendorong
terjadinya pengayaan dunia keilmuan di lingkungan pesantren secara keseluruhan.
Dalam sejarahnya paling tidak As’ad pernah belajar
sekurang-kurangnya di lima Pondok Pesantren, yakni Pesantren Sidogiri Pasuruan
pada KH. Nawawi, Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo pada KH. Khazin,
Pesantren An Nuqayah Guluk-guluk Sumenep, Pesantren Kademangan pada Kiai
Muhammad Cholil Bangkalan dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng pada KH.
Hasyim Asy’ari.
Di Pesantren Tebuireng itulah, Kiai As’ad memperoleh
kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan
pesantren yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan
setiap kali menyinggung Pesantren Tebuireng ia senantiasa menyebut KH. HasyimAsy’ari sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya. Di
pesantren inilah As’ad bertemu dengan pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh
dan pendiri pesantren, seperti KH. Wahab Hasbullah. Pengasuh Pondok Pesantren
Tambak Beras Jombang, KH. Abdul Karim atau Mbah Manaf Lirboyo Kediri, KH. Abbas
Buntet Cirebon.
Dari teropong intelektualitasnya, Kiai As’ad telah menulis
karya-karya yang sebagian besarnya adalah bidang tasawuf dan beberapa bidang
fiqih. Sekalipun As’ad lama belajar di Makkah, namun kitab-kitab yang disusun
semuanya menggunakan bahasa lokal yakni bahasa Madura. Karena ia paham pembaca
kitabnya (santri) sebagian besar dari kepulauan Madura serta agar ide-ide yang
tepat sasaran dan mudah dimengerti.
Kiai As’ad
merupakan kiai desa yang popularitasnya telah membelah semesta Indonesia.
Sekalipun tinggal di dusun, tepatnya Dusun Sukorejo Asembagus Situbondo,
resonansi Kiai As’ad kerap menggelar di langit-langit percaturan nasional.
Misalnya tatkala kebanyakan tokoh Islam menolak Pancasila, Kiai As’ad bersama
dengan tokoh-tokoh NU yang lain, seperti Kiai Achmad Shiddiq dan Ali Ma’shum,
dengan lantang tampil sebagai penerima utama Pancasila sebagai satu-satunya
asas.
Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif
atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas Kiai As’ad mengatakan bahwa
secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an dan
as-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata al-Qur’an dan as-Sunnah tidak
tercantum dalam sila-sila Pancasila, ajaran-ajaran fundamental Islam telah
terpatri di sana.
Atas sikap dan pendiriannya itu, Kia As’ad menuai
berbagai kritik keras dari beberapa tokoh Islam. Berpuluh-puluh surat kaleng
yang berisi cercaan, kecaman dan hinaan terhadap diri Kiai As’ad mengalir
dengan deras ke rumah kediamannya. Bahkan Kiai As’ad pernah mendapatkan ancaman
pembunuhan dari beberapa orang yang mengklaim sebagai pejuang dan pembela
Islam. Singkat kata Kiai As’ad telah mengorbankan nyawa atas Pancasila sebagai
Ideologi Nasional dan satu-satunya asas di Indonesia. Terhadap semuanya itu,
Kiai As’ad menanggapinya dengan senyuman ramah sembari mengatakan bahwa
kesabaran adalah persyaratan mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan
satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Mukhtamar NU ke-2 untuk menyusun Ahlu
al-Halli wa al-‘Aqdi untuk selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU setelah
NU ke kembali ke Khittah 26, dimana Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua
Umum PBNU pertama kalinya. Ia juga bersama para ulama sesepuh seperti, KH. Ali
Ma’shum, KH. Makhrus Ali, dan KH. Achmad Siddiq, dikenal sebagai andalan untuk
melerai kemelut yang melilit tubuh NU saat itu.
Penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas
sebelum ditetapkannya UU Ke-ormas-an, yang dikukuhkan oleh Munas NU di
Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kiai As’ad.
Bahkan tekad NU untuk kembali ke Khittah 26 agaknya tidak luput dari peran yang
dimainkannya bersama kiai-kiai yang lain.
Kia As’ad juga termasuk Pengasuh Pondok Pesantren yang
tergolong besar di Jawa Timur. Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang diwariskan
oleh ayahandanya, Kiai Syamsul Arifin, di tangan Kiai As’ad telah berkembang
dengan pesat. Ribuan santri dari penjuru Nusantara, bahkan hingga dari manca
negara seperti Malaysia, Brunai dan Mekkah belajar di pesantren asuhan Kiai
As’ad. Kiai As’ad memang tipe ulama kharismatik. Pengaruh dan wibawanya tidak
hanya terbatas pada satntrinya saja, tetapi juga merambah sampai ke level
masyarakat bawah, terutama di Jawa Timur dan Pulau Madura.
Waktu hidupnya, setiap hari di kediamannya tidak
pernah sepi dari kunjungannya para tamu dari pelbagai lapisan sosial masyarakat,
mulai dari rakyat bawah (grass root) hingga para pejabat tinggi dan
tertinggi negara, mulai dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur
Indonesia.
Dengan peran-perannya, maka wajar jika memori kolektif
umat Islam Indonesia, terlebih warga NU, sangat lekat dengan nama Kiai As’ad
Syamsul Arifin, seorang ulama dari Jawa Timur atau tepatnya dari Sukorejo
Asembagus Situbondo Jawa Timur. Akan tetapi meskipun nama Kiai As’ad telah
tersohor, ia tetap tampil dengan penuh kesederhanaan, tidak hidup mewah. Pakainnya
serba putih dan rumahnya yang beratapkan rumbia adalah bukti kuat perihal
kebersahajaannya ini. Kiai As’ad dikenal sebagai kiai yang zahid dan wari’.
Ia seorang wali yang memiliki kemampuan kasyf yang tinggi.
Corak
Pemikiran
Kiai As’ad dikenal sangat memahami berbagai kitab
kuning, minimal dalam empat bidang ilmu, yaitu ilmu alat (nahwu, sharaf, dan
balaghah), ilmu tauhid, ilmu tafsir dan ilmu fiqih. Untuk dapat memahami
corak pemikiran beliau terdapat dua hal yang harus dilakukan. Pertama, dengan
menyimak pesan-pesannya yag disampaikan dalam berbagai forum yang
didokumentasikan melalui audio maupun kaset. Kedua dengan membaca beberapa buah
karya beliau, baik dalam bidang fiqih ataupun dalam bidang tasawuf.
Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar
dari Kiai As’ad adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem
madzhab. Inilah pandangan yang erat kaitannya dengan sikap beragama dari
mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Paham bermadzhab
ini timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah secara
benar. Sebab dalam sejarhnya, berbagai upaya pemahaman terhadap dua sumber
utama ajaran Islam itu sering menimbulkan perselisihan pendapat.
Bahkan, setelah Rasulullah Saw. wafat perselisihan itu
sudah mulai meruncing. Tepatnya, sesudah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh
para sahabat, perselisihan itu timbul dan tidak mungkin lagi dihindarkan.
Perselisihan ini kemudian melahirkan para pemikir besar (mujtahid) dalam bidang
keagamaan. Karena jumlah mujtahid itu sangat banyak dan pikiran mereka tidak
mudah dirumuskan secara sederhana, maka Kiai As’ad menyimpulkan untuk mengikuti
madzhab yang empat.
Menurut Kiai As’ad, sebenarnya bukan hanya empat
madzhab yang kita kenal. Ada banyak madzhab dan semuanya boleh diikuti seperti,
Sufyan at-Tsauri, Ishaq ibn Rawahah, dan Dawud adz-Dzahiri, dengan satu catatan
tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka yang tertuang dalam literatur namun
tidak terkodifikasi dengan baik atau dengan kata lain rantai pemikiran mereka
terputus. Mengikuti pendapat mereka dikhawatirkan menyimpang dari pendapat
pendirinya karena tidak ada pelestarian kodifikaisi tadi.
Bagi seorang muslim yang mampu melakukan ijtihad,
menurut Kiai As’ad, diharamkan taklid. Namun bagi mereka yang mau melakukan
ijtihad berlaku syarat-syarat yang sangat ketat. Sementara bagi yang tidak
mampu melakukan ijtihad, silakan bertaklid kepada seorang mujtahid: “Man
qallada ‘aliman laqiya saliman.”
Pada spektrum yang lain, Kiai As’ad juga mendalami
ilmu thariqat. Menurut pendapatnya terdapat 40 thariqat yang sudah dipelajari
secara mendalam. Dari masing-masing aliran, Kiai As’ad mendapat ijazah (izin)
untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai mursyid. Thariqat
Naqsyabandiyah dan Qadiriyah inilah yang diamalkan Kiai As’ad sampai
wafat.
Pengamalannya terhadap thariqat tersebut tercermin
pada kehidupannya sehari-hari yang sufistik. Hidupnya sangat sederhana, Kia
As’ad tinggal di rumah sangat sederhana di lingkungan perumahan keluarga pengasuh
pesantren. Meskipun Kiai As’ad pimpinan tertinggi di pesantren tersebut,
rumahnya tampak lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh pesantren yang lain,
bahkan bila dibanding dengan bangunan untuk para santri sekalipun.
Bangunan kamar-kamar santri yang cukup mewah dan
modern, sementara rumah yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen
dengan ukuran kurang lebih 3×6 meter. Singgasana Kiai As’ad hanyalah amben yang
dialasi tikar pandan dalam ruang dengan lantai dari tanah. Di situlah Kiai
As’ad menerima tamu dari yang pejabat sampai ke petinggi negara sebagai ruang
tamu dan ruang tidur. Pakaian kebesaran yang dikenakan dalam segala situasi dan
kondisi pun tetap, terdiri atas baju piyama putih, sarung palekat putih, kopiah
putih dan sandal selop.
Kesederhanaan sudah menjadi pilihan Kiai As’ad.
Padahal beliau adalah seorang hartawan, kekayaannya melimpah ruah. Usaha
pertokoan di bidang bisnis di kota Situbondo dan Asembagus terbilang sukses dan
berskala besar. Belum lagi di kawasan wisata, baik di Situbondo maupun di Bali
beliau memilki restoran yang cukup laris. Di Makkah tempat ia menuntut ilmu, ia
juga memiliki rumah berlantai tujuh, yang setiap musim haji disewakan sebagai
penginapan jamaah Haji. Belum lagi terhitung sawah, tambak dan perahunya di berbagai
tempat sekitar Situbondo, Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.
Meski sebagai penganut thariqat yang taat, ia tidak
pernah mengajak santrinya untuk mempelajari dan mengamalkan thariqat,
lebih-lebih mengajarkannya. Ia memandang bahwa thariqat memiliki konsekuensi
yang cukup berat. Bagi orang yang imannya belum kuat, ilmu agamanya belum cukup
luas, dan belum cukup usia, bisa tersesat dalam kemusyrikan. Karena itu, dia
berpesan: “Hati-hati mengikuti thariqat.”
Dalam beberapa forum, baik dengan para santrinya yang
masih aktif maupun dengan para alumninya yang sudah pulang, Kiai As’ad sering
menjelaskan bahwa thariqat yang paling baik adalah Nahdlatul Ulama. Lebih jauh,
ia berharap kepada para santrinya tatkala sudah pulang ke kampung halamannya
untuk menjadikan NU sebagai thariqat perjuangannya. Tidak jarang, ia melarang
para santrinya untuk mengamalkan thariqat tertentu.
Walaupun Kiai As’ad adalah seorang pengamal thariqat,
ia tidak segan-segan untuk menyorot bidang thariqat juga. Thariqat sebagai
upaya pendekatan diri kepada Allah jelas tidak ditentang, namun tidak semua
thariqat berjalan sesuai dengan tuntunan syari’at, sehingga beliau senantiasa
menjelaskan duduk persoalan baik dalam deramah-ceramahnya maupun dalam berbagai
kitab karyanya.
Salah satu thariqat yang menjadi kritik Kiai As’ad
adalah thariqat Tijaniyah. Menurut analisis Martin Van Bruinessen, Kia As’ad
sedang gusar dan merasakan kemajuan thariqat Tijaniyah sedang mengancam
kekuasaannya sendiri, dan dia melawannya secara berhadap-hadapan, dengan
menggunakan seluruh pengaruh yang dapat ia kerahkan. Kiai As’ad menemukan
sebuah risalah anti Tijaniyah yang telah memainkan peranan penting dalam
polemik tahun 1920-an dan mencetaknya kembali serta menyebarkannya secara luas,
baik dalam bentuk aslinya yang berbahasa Arab maupun terjemahan dalam bahasa
Madura.
Begitu juga Kiai As’ad seringkali melancarkan kritik
pedas terhadap modernisme yang memandang rasio sebagai segalanya. Salah satu
kritik tajam yang dilontarkan Kiai As’ad terhadap manusia modern adalah mereka
dinilai dilanda kehampaan spiritual. Kemajuan pesat dalam bidang ilmu dan
filsafat rasionalisme sejak abad ke-18, yang diraskan tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan
vital yang hanya bisa digali dari sumber Wahyu Ilahi. Banyak orang pandai,
pinter dan cerdas yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan pada pemikiran politik, Kiai As’ad tampaknya
sejalan dengan doktrin politik Sunni sebagaimana yang dikembangkan oleh Imam al-Mawardi
dan Imam al-Ghazali. Pada dasarnya doktrin ini adalah sangat akomodatif
terhadap penguasa. Hal ini dikarenakan doktrin ini dirumuskan posisi rakyat
sangat lemah vis a vis penguasa (khalifah), sehingga rakyat diminta untuk patuh
dan taat terhadap penguasa. Dengan pemahaman ini, kita dapat memaklumi mengapa,
misalnya beberapa tokoh NU termasuk Kiai As’ad dalam beberapa hal terkesan
sangat akomodatif terhadap pemerintah.
Perjuangan
dan Pengabdian
Tepat pada tahun 1938, As’ad mulai mengajar di Pondok
Pesantren Sukorejo. Materi yang diajarkan kepada para santri Sukorejo adalah
ilmu tauhid elementer yang dikenal dengan Aqidah al-‘Awam karangan Syekh
Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki.
Dalam pelajaran Fiqih menggunkan kitab Sullam
at-Taufiq karya al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alwi (w. 1272
H/1855 M) dan Safinah an-Najah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Samir
al-Hadramani yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke-19.
Tahun berikutnya 1939, Kiai As’ad menambah lagi materi
pelajaran beberapa kitab antara lain, at-Tashrif li al-‘Izzi karya Syekh
‘Izzudin Ibrahim dan al-Ajrumiyah karya Syekh Abu Abdillah Muhammad ibn
Daud ash-Shanhaji bin Ajurum (w. 723 H), al-Amtsilah at-Tashrifiyah li
al-Madaris as-Salafiyah karya ulama Jawa KH. Muhammad Ma’shum ibn Ali dari
Jombang. Materi ini selalu dibaca setelah shalat Isya’.
Sedangkan kitab tasawuf, Bidayah al-Hidayah
karya Hujjatul Islam Abu hamid al-Ghazali (w. 1111 H), kitab fiqih at-Taqrib
fi al-Fiqh dan Kifayah al-Akhyar karya Syekh ad-Dimasyqi (w. 829 H)
biasa dibaca setiap habis Shubuh.
Selain kitab-kitab di atas, Kiai As’ad juga mewajibkan
untuk membaca Qashidah al-Burdah, a-Daiba’i atau al-Barzanji
secara berjama’ah setiap Kamis (malam Jum’at) di masjid atau mushalla. Bacaan Ratib
al-Haddad juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam berbagai
ritual yang mengiringi siklus kelahiran seseorang dan untuk menangkal bahaya
(tolak bala’).
Seperti lazimnya pondok pesantren salaf yang banyak
memfokuskan orientasi keilmuannya pada hafalan, Kiai As’ad yang kala itu masih
muda, energik dan kharismatik telah menggunakan sistem pengajaran dengan cara
hafalan. Dimana pelaksanaan hafalan itu dilakukan dengan cukup serius dan
ketat. Bagi santri yang telah diberi kelonggaran waktu tidak memenuhi tugas dan
tidak menguasai hafalan yang ditetapkan Kiai As’ad maka harus menerima sanksi
hukuman yang berat dari Kiai As’ad muda.
Kegiatan belajar mengajar saat itu masih sangat
sederhana, sebab dilakukan di serambi masjid tanpa tempat duduk dan papan
tulis. Dan para santri berpakaian khas Jawa (pakai blangkon) dengan menggunakan
sistem klasikal hanya sampai di kelas IV.
Selanjutnya, sejak tahun 1950-an, Kiai As’ad mulai
memberikan pelajaran tentang Tafsir al-Qur’an dengan Kitab Tafsir Jalalain
karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan Syekh Jalaluddin al-Mahalli, khusus pada
bulan Ramadhan dibaca selama 20 hari.
Seperti halnya pesantren pada saat itu, sistem
pendidikan yang diterapkan adalah sorogan, wetonan dan bandongan. Baru setelah
sistem pengajaran melanda banyak pesantren, pengajaran di Pesantren Sukorejo
juga berubah menjadi klasikal dengan ditandai berdirinya lembaga-lembaga
pendidikan formal yang berjenjangan dari tingkat MI, MTs hingga Madrasah
Aliyah.
Pada tahun 1951, ayahanda KH. As’ad meninggal dunia.
Kia As’ad sebagai putra sulung, langsung menggantikan posisi ayahnya sebagai pengasuh.
Semenjak itu Kiai As’ad memfokuskan perhatiannya ke pesantren, kendatipun
sesungguhnya mulai tahun 1925 sudah terlibat ikut mengurusinya.
Selama masa kepemimpinannya, banyak pihak mengakui
keberhasilan Kiai As’ad di dalam mengembangkan dan memajukan pesantren
tersebut. Pertama, tepat pada 14 Maret 1968 M/13 Dzulhijjah 1388 H, Kiai As’ad
mendirikan sebuah Universitas, UNNIB (Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy)
dengan satu fakultas Syari’ah, yang kemudian dalam perkembangannya berubah
status menjadi Institut dengan tiga Fakultas, Syari’ah, Tabiyah dan Dakwah.
Kedua, pada tahun 1980 Kiai As’ad mendirikan SD
Ibrahimy, SMP Ibrahimy, SMA Ibrahimy dan SMEA Ibrahimy. Dengan demikian
pesantren menggunakan dua kurikulum secara sekaligus yakni kurikulum pesantren
dan kurikulum pemerintah.
Dua tahun sebelum wafat, Kiai As’ad secara
berturut-turut mendirikan dua lembaga pendidikan:
1. Madrasah
al-Qur’an, diperuntukkan bagi yang ingin menghafal al-Qur’an
2. Al-Ma’had
al-‘Aliy li al-‘Ulum al-Islamiyah Syu’bah al-Fiqh, khusus bagi mereka yang
ingin memahami dan memperdalam Fiqih dan Ushul Fiqih. Lembaga yang terakhir ini
didirikan ketika terjadi kekhawatiran tentang terjadinya kelangkaan ulama
fuqaha, yang mampu merespon persoalan-persoalan zaman yang cenderung semakin
kompleks.
Lembaga yang terakhir ini menjadi fokus perhatian Kiai
As’ad sampai akhir hayatnya. Kiai kharismatik ini meninggal pada 4 Agustus
1990, di kediamannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo
Jawa Timur.
Sya’roni
As-Samfuriy, Tegal 19 Februari 2013
0 Comments